“Wis, gw jadinya bawa 5500”
Pesan singkat itu dikirim oleh Dimas beberapa hari menjelang kedatangannya di Yogyakarta. Angka 5500 yang dia maksud jelas adalah seri kamera DSLR Nikon D5500.
Nikon D5500 merupakan DSLR Nikon terbaru di seri 5XXX yang dirilis pada bulan Januari 2015. Kamera yang diposisikan di kelas upper entry level ini merupakan penerus seri D5000, D5100, D5200, dan D5300.
Sekadar info, Nikon D5500 Kit diberandol seharga sekitar Rp 9 juta di bulan Oktober 2016 ini.
Piye? Lumayan mahal toh?
Lensa kit-nya AF-P DX Nikkor 18-55 VR. Ulasan lensanya bisa disimak di sini.
Jujur ya, aku sih biasa-biasa saja menanggapi pesan singkat Dimas di atas itu, gyahahaha.
Lha gimana? Aku kan masih setia ber-partner dengan Nikon D80 kesayangan yang sudah berusia 9 tahun di tahun 2016 ini. Walaupun ya selama 9 tahun itu sudah berkali-kali juga diopname servis.
Lagipula, aku itu seorang pehobi fotografi yang punya prinsip, “foto yang bagus tidak selalu bergantung pada kamera”. Buktinya, karya fotonya Ansel Adam yang dihasilkan dengan kamera antik masih tetap memukau sampai sekarang tuh!
Jadi, aku sih nggak berkeyakinan kalau D5500 menghasilkan foto yang jauh lebih bagus dari D5000 atau bahkan D70.
Foto legendaris Ansel Adams, The Tetons and the Snake River (1942).
Foto dipinjam dari Wikipedia: https://en.wikipedia.org/wiki/Ansel_Adams
Akan tetapi, bagi para pengguna awam nan pemula yang punya anggaran dana jutaan rupiah dan tertarik membeli kamera DSLR Nikon, boleh jadi mereka bakal gelisah gundah gulana menghadapi kebimbangan atas pertanyaan,
Apakah D5500 itu layak dibeli?
Bagus nggak sih D5500?
Apa saja kekurangan D5500?
Apa sebaiknya beli seri di bawah D5500 yang lebih murah?
Apa malah nabung lagi dan beli seri di atas D5500?
Nah, di artikel ini aku mau mengulas Nikon D5500 berdasarkan pengalaman pinjaman pakai selama 5 hari. Semoga saja celotehku ini bisa membantu merumuskan keputusan apakah D5500 layak dibeli, layak tidak beli, atau justru layak dipinjam saja, hahaha.
Ini penting ya, karena memilih kamera itu nggak bisa sembarangan! Soalnya, buat pria lajang, kamera itu kan ibarat istri. Sedangkan lensa adalah anak-anaknya. Jadinya, memilih kamera itu ibarat milih istri. #eh
Oh iya, D5500 yang dibawa oleh Dimas ini merupakan product sample. Itu lho, contoh-contoh produk yang biasa dipajang di bagian elektronik di hipermarket yang boleh dicoba-coba calon pembeli. Enaknya Dimas ini, dia bebas meminjam product sample DSLR Nikon. Tapi ya belum pernah dapet D750, D810, atau D5 sih.
Fitur-Fitur Unggulan Nikon D5500
Sebelum memulai ulasan, ada baiknya kita simak dulu apa saja fitur-fitur unggulan D5500 ini. Senarai di bawah aku comot dari situs fotografi sejuta umat, DPREVIEW .
- Sensor CMOS 24.2 MP tanpa filter low-pass
- Titik autofokus sebanyak 39
- Sensitivitas ISO dari 100 sampai dengan 25.600
- Layar touchscreen berukuran 3.2” beresolusi 1.2 juta yang bisa diputar-putar
- Built in Wi-Fi
Sekarang, mari kita telaah satu demi satu fitur-fitur tersebut dari pandangan seorang Wijna.
Megapiksel
Menurutku, para awam nan pemula sering termakan “hasutan” marketing bahwa “semakin besar resolusi megapiksel maka hasil fotonya semakin bagus”. Buatku itu telek kebo! (dibahasa Inggriskan jadi... ).
Buat para pengguna DSLR yang hanya memotret untuk sekadar di-upload ke media sosial macamnya Facebook, Path, atau Instagram, resolusi 1 MP menurutku sudah sangat cukup!
Apalagi kalau nemu blogger yang memajang foto-foto puluhan megapiksel di laman blog-nya. Rasanya jadi pingin nge-hack itu blog dan nge-resize semua foto-fotonya pakai library PHP GD. #niat.busuk
Lha terus apa gunanya resolusi yang gedenya puluhan megapiksel itu?
Ya buat cropping! Contohnya, seperti foto di bawah ini!
Hasil crop Candi Borobudur dari Punthuk Setumbhu terlihat detil sampai terlihat pengunjungnya.
Terlepas dari besarnya resolusi megapiksel, menurut pengamatanku hasil-hasil foto D5500 itu nggak mengecewakan. Meskipun untuk lebih menentukan kualitas hasil foto seperti ketajaman dan warna itu ya harus juga mempertimbangkan lensa apa yang digunakan.
Sensor CMOS Tanpa Filter Low-Pass
Jadi, sensor yang ada di kamera digital itu umumnya terdiri dari 2 jenis, CCD dan CMOS. Apa bedanya antara sensor CCD dan CMOS bisa Pembaca simak sendiri di tautan berikut. Di zaman sekarang ini DSLR Nikon seluruhnya memakai sensor CMOS.
Yang menarik buatku adalah informasi bahwa sensor CMOS di D5500 ini tidak dilengkapi filter low-pass. Penjelasan yang "lumayan" rumit perihal filter low-pass bisa Pembaca simak di tautan ini. Kalau pada penerapannya di sensor DSLR sih, konon bisa menghasilkan foto yang lebih tajam. Tapi, filter sharpening di Photoshop atau GIMP juga bisa bikin foto jadi lebih tajam kok.
Titik Autofokus
Terus terang, aku sendiri nggak terlalu mementingkan jumlah titik autofokus. Selama ini aku seringnya memotret landscape yang mana obyek-obyek fotonya cenderung nggak bergerak. Dengan demikian aku hanya butuh SATU titik autofokus yang letaknya di TENGAH.
Akan tetapi, untuk pengguna yang lebih sering memotret obyek-obyek yang bergerak aktif seperti pertandingan olahraga, pagelaran tari, tingkah polah satwa, dan lain-lain, jumlah titik autofokus D5500 yang banyak ini merupakan hal yang mutlak dibutuhkan.
Saat memotret obyek bergerak seperti Dimas yang melompat nyebur ini pasrahkan saja ke sistem autofokus.
Sensitivitas ISO
Nah, tentang sensitivitas ISO D5500 yang bisa mencapai 25.600 ini sih aku sangat senang! Walaupun ya tetap harus ingat bahwa foto yang dijepret dengan sensitivitas ISO yang makin tinggi akan semakin menghasilkan banyak noise.
Aku membandingkannya dengan partner-ku D80 yang ISO normal tertingginya hanya 800. Dengan ISO yang kecil itu sulit sekali untuk menghasilkan foto yang bebas getar dalam kondisi pemotretan gelap seperti di bawah ini.
Dipotret pakai ISO 8.000 dan kualitasnya bebas noise! Wow!
Layar
What the hell dengan layar yang bisa diputar-putar!?
Berhubung aku bukan orang yang menggunakan DSLR sebagai piranti merekam video, aku sebetulnya kurang mendapat manfaat dari layar LCD D5500 yang bisa diputar-putar ini.
Dari sisi fotografi bisa jadi layar yang bisa diputar-putar ini membantu untuk mendapatkan live preview ketika memotret dari sudut low angle. Tapi ya aku lebih senang “mengintip” preview dari jendela viewfinder.
Oh, mungkin untuk pengguna yang senang selfie, layar LCD yang bisa diputar-putar itu membantu sekali ya?
Kalau sering diputar-putar khawatirnya gampang rusak....
Yang menurutku malah agak mengganggu dari layar D5500 adalah fitur touchscreen-nya. Soalnya, layar ini rawan tersentuh oleh hidung ketika membidik dari jendela viewfinder. Alhasil, setting pemotretan pun rawan berubah! Doh!
Sebetulnya fitur touchscreen ini lumayan membantu. Terutama ketika ingin mem-preview foto-foto yang tersimpan di kartu memori. Sedangkan aku kalau mengganti-ganti setting pemotretan lebih enak dan cepat pakai tombol 8 arah.
Bayangkan bila foto-foto yang tersimpan di kartu memori jumlahnya ribuan. Lha yo capek toh kalau harus menekan-nekan tombol berulang kali demi menelusuri ribuan foto? Kan lebih enak pakai fitur touchscreen. Tinggal diusap-usap sebagaimana cara nge-scroll di smartphone. Praktis dan tidak capek.
Nge-scroll foto-foto di DSLR kini semudah nge-scroll foto di smartphone.
Sebenarnya lewat menu pengaturan kamera ya bisa kok mematikan fitur touchscreen saat kondisi kamera sedang aktif dipakai untuk memotret. Tapi, kan lebih inovatif lagi kalau layar touchscreen-nya pintar dengan hanya menerima perintah dari sentuhan jari tangan, bukan dari sentuhan hidung, hahaha.
Wi-Fi
Haaaaah... terus terang aku juga nggak begitu merasa kalau fitur Wi-Fi ini bermanfaat. Jadi, fitur Wi-Fi di D5500 ini memungkinkan kamera untuk men-transfer foto ke smartphone.
Selama ini kalau mau transfer foto kan pakai card reader atau kabel USB toh? Lewatnya komputer atau laptop. Iya kan?
Agaknya, fitur Wi-Fi di D5500 ini untuk memfasilitasi pengguna yang kekinian. Kan enak setelah selesai motret langsung fotonya bisa di-transfer ke smartphone kemudian di-upload ke media sosial. Tul nggak?
Kalau menurutku, harusnya fitur Wi-Fi di D5500 ini bisa dibuat lebih canggih lagi. Misalnya, supaya kamera bisa di-remote sehingga memungkinkan untuk memotret dengan kendali jarak jauh. Kan keren tuh!
Yang pasti, kalau mengaktifkan fitur Wi-Fi ini bakal BANYAK memakan daya baterai D5500! Jadinya boros baterai banget kalau terus-menerus mengaktifkan fitur Wi-Fi di kamera. Mending foto-fotonya di-transfer dulu ke laptop atau PC pakai card reader kan?
Fitur-Fitur Nikon D5500 yang Nggak Kalah Menarik
Banyak fitur-fitur unggulan D5500 di atas yang buatku nggak begitu menarik. Tapi, sebetulnya ada juga fitur-fitur di D5500 yang buatku lebih menarik, hahaha.
Pertama, D5500 dipersenjatai dengan EXPEED 4, yakni komponen pengolah citra terkini milik Nikon. Daripada resolusi megapiksel yang semakin besar, aku sih lebih condong memilih komponen pengolah citranya diperbarui.
Kedua, D5500 memiliki daya tahan baterai yang awet! Asal jangan menggunakan fitur Wi-Fi lho!
Ini terasa banget pas D5500 dibawa ke Dataran Tinggi Dieng yang hawanya dingin banget! Asal tahu, di daerah yang hawanya dingin, penggunaan daya baterai itu lebih boros lho! Di Dieng ini ada ratusan foto yang dijepret tanpa pernah sekalipun nge-charge baterai kamera! Dahsyat!
Ketiga, dimensi D5500 ini RAMPING!
Bila dibandingkan dengan seri-seri DSLR Nikon yang pernah aku pakai macamnya D80, D40X, D60, D300s, D7000, D3200, D5200, dan D600 (eh, banyak juga ya? ) dimensi D5500 ini lebih singset dan enteng!
Saking ringkasnya dimensi body D5500 aku sempat membatin,
“Ini beneran DSLR? Kok kecil dan tipis banget ya?”
Hampir mirip-mirip mirrorless. Hanya saja agak “gemukan” sedikit.
Digenggam dengan 3 jari kayaknya sih masih aman.
Buatku, dimensi body ini adalah pertimbangan utama saat memilih kamera. Aku sendiri kurang nyaman mengoperasikan kamera yang body-nya mungil. Itu sebabnya, kenapa sampai sekarang aku nggak pernah melirik kamera mirrorless.
Akan tetapi, meskipun ber-body ramping dan mungil, aku merasa nyaman mengoperasikan D5500. Bisa jadi, salah satu penyebabnya adalah lekuk grip (pegangan tangan) yang lebih menjorok ke dalam. Ini adalah nilai lebih bagi para pengguna kamera yang bertangan besar (seperti aku ). Untuk pengguna dengan tangan kecil (khususnya wanita) D5500 ini sepertinya terasa pas di genggaman.
Oleh karena lekuk grip D5500 ini cukup dalam, alhasil dalam perasaanku menggenggam kamera hanya dengan tangan kanan saja cukup aman. Pun mau tangan diayun-ayunkan, perasaanku ya masih aman-aman saja. #jangan.ditiru
Tombol-tombolnya semakin mungil....
Sayangnya, implikasi dari dimensi body kamera yang mengecil adalah ukuran tombol-tombol yang ikut mengecil! Alhasil, apabila dulu aku pede menekan tombol dengan ibu jari. Di D5500 aku lebih mantap menekan tombol dengan bantuan ujung kuku.
Apalagi, tombol-tombol yang ada di posisi belakang kamera itu fisiknya nggak terlalu menonjol keluar. Jadi, menekan tombol dengan bantuan ujung kuku itu membuat perasaan terasa lebih yakin bahwasanya tombolnya sudah benar-benar tertekan, hahaha.
Menu Pengaturan di D5500 yang Menganggu
Jujur, menu di D5500 adalah hal yang menurutku lumayan menganggu layaknya kerikil yang masuk ke dalam sepatu, hahaha.
Well... untuk DSLR entry level semacam D5500 ini, kita memang nggak boleh mengharapkan menu-menu pengaturan kamera yang super komplit dan mendetil. Toh, segmen pasar kamera ini kan pengguna pemula yang memprioritaskan kemudahan penggunaan.
Meski demikian, menu pengaturan kamera secara garis besar masih khas Nikon. Lebih tepatnya, menu khas DSLR entry level-nya Nikon.
Fitur pengaturan kamera yang menurutku menarik adalah HDR dan D-Lightning. Sayang, fitur HDR nggak bisa diatur agar selalu aktif. Setelah selesai sekali njepret harus diaktifkan lagi secara manual. Kan kalau mau motret HDR berkali-kali ya repot.
Menu-menunya ada yang nggak bisa diakses kalau nggak terpasang lensa. Sedih...
Yang berbeda dari DSLR Nikon entry level lainnya adalah D5500 ini mulai “memindahkan” kontrol pada lensa ke kamera. Misalnya saja, di D5500 ada menu untuk mengatur aktif tidaknya fitur peredam getar (vibration reduction) lensa. Lazimnya, fitur peredam getar di lensa kan ya diatur lewat tombol khusus di lensa, bukan di menu kamera. Ya kan?
Selain itu, beberapa menu setting kamera di D5500 juga greyed out alias disabled alias tidak bisa diutak-atik saat lensa tidak terpasang ke body kamera. Misalnya saja pengaturan Image quality, Image size, ISO sensitivity, dan White balance.
Ini artinya, untuk bisa melakukan pengaturan D5500 secara lebih detil, body kamera wajib terpasang lensa.
Yang seperti ini kan kemudian menimbulkan pertanyaan,
“Bagaimana jika lensa nggak dikenali oleh D5500? Jadi, meskipun sudah terpasang lensa menu-menunya masih non-aktif?”
Yah, semoga dengan memperbarui firmware kegelisahan tersebut bisa terjawab.
Kesimpulan Review Nikon D5500
Kesimpulannya, sebagai DSLR yang menyasar fotografer pemula sekaligus video maker pemula, Nikon D5500 merupakan piranti yang tepat untuk memulai mengembangkan bakat dan potensi diri.
Hanya saja, karena segmennya adalah pengguna pemula, maka yang menjadi “korban” adalah fleksibilitas alias keleluasaan penggunaan. Tapi dugaanku, para pemula nggak begitu banyak mempersoalkan hal ini. Hanya pengguna yang downgrade dari DSLR advanced yang sepertinya bakal banyak membatin, “kok?”, “kok?”, dan “kok?”
Misalnya,
D5500 hanya punya satu roda dial untuk mengganti setting.
D5500 terbatas dalam pengaturan fungsi flash.
D5500 tidak dilengkapi jendela LCD kecil.
Fungsi tombol-tombol di D5500 tidak bisa dikustomisasi.
Autofokus D5500 di mode live-view kurang begitu cepat.
Jadi, kalau seorang Wijna ditanya, “apakah berkenan membeli D5500?” maka aku akan menjawab,
TIDAK
Gyahahaha!
TAPIII... seandainya, Nikon merilis produk seperti D5500 TANPA disertai fitur Wi-Fi dan layar yang bisa diputar-putar (dan juga TANPA fitur touchscreen!), besar kemungkinan aku tertarik buat membelinya.
Tapi, sekiranya ada yang menjual D5500 body only bekas dengan harga Rp 5 juta, ya bolehlah masuk pertimbangan, hahahaha.
Nikon D5500 adalah DSLR yang bagus. Tapi sayang, buatku sebagian besar fitur-fiturnya kurang bermanfaat dan juga kurang inovatif. Kalau menurut Pembaca sendiri bagaimana?
NIMBRUNG DI SINI
Fitur touchscreen-nya yg rawan rawan tersentuh oleh hidung ketika membidik dari jendela viewfinder dan membuat setting pemotretan pun rawan berubah?
hahaha....Kan ada pengaturan sensornya mas yg membuat layarnya otomatis mati ketika wajah kita mendekati jendela viewfinder, jd g mungkin pengaturan kamera berubah.
Tus mengenai fitur Wi-Fi di D5500. Kata siapa hanya utk mentransfer foto? Fitur ini bisa buat remote untuk memotret bahkan merekam video sebagai kendali jarak jauh dengan bantuan smartphone jadi g perlu bawa2 remot tersendiri.
Saran saya kalau cuman pakai 5 hari jgn beropini yg menyesatkan dan sok tau karena selain dua yg saya sebutkan diatas ada banyak opini yg mas buat tidak sesuai dengan apa yg ada dikamera tersebut. Baca dulu manual booknya agar tau apa dan bagaimana kamera ini biar g kliatan bodoh.
Wasalam, Salam mblusuk
lewat kamera Nikon D5500 bingung saya
Malum pemula.
Terima kasih
Awalnya dulu begitu, biarin deh. Lama-lama jengah juga ko gede banget. Tapi akhirnya disiasati bikin akun flickr.
Anyway, nice and thanks infonya. Kebetulan saya juga pengguna Nikon, tapi D5300.
Untuk kamera pemula aja ... mahal gini ya ...
Belum pernah pakai DSLR ... hasilnya pasti oke ... tapi bagi saya selain harganya mahal ... bawanya kalau sesepedaan ribet ... jadinya bawa kamera pocket.
A6000.. tapi 9 jutanya dari mana? XD
touchscreen? tidak.. terima kasih.. harusnya kalo kemudahan dengan adanya wifi bisa
akses memory dengan smartphone lho..
24 MP? lha kamera saku 16 MP aja defaultnya ku setting di 10 MP, bisa sih lebih kecil
tapi sama dengan sampeyan mas, njagani untuk cropping.. ini hp sekarang 13 MP mau
dikecilin ke 8 MP belum ketemu setelannya.. ya sebenernya agar ukuran foto nggak
menuhin SDcard dan harddisk hahahaha..
Nah, itu sebetulnya WiFi nya bisa dikembangkan lagi penggunaannya. Yang lebih penting biar nggak boros baterai.
Aku yo nek mainan JPEG pasti pakai resolusi yg kecil kok. Kecuali klo fotonya ya agak-agak nyeni. :D
Koleksi harddisk sama SD-ku dah beranak-pinak, wakakakaka :D