Pertama-tama, tujuanku menulis artikel ini, selain sebagai rekaman kenangan, juga sebagai bahan pembelajaran untuk Pembaca yang berencana memotret gerhana matahari (mau total kek, mau parsial kek, mau anular kek, bebas ) di masa yang akan datang.
Kalau menurut Wikipedia, gerhana matahari total di Indonesia setelah tahun 2016 bakal terjadi lagi tahun 2023 di wilayah Papua dan Papua Barat. Konon, gerhana matahari yang bakal terjadi di tahun 2023 tergolong langka karena merupakan gerhana hybrid, campuran antara gerhana total dan gerhana anular. Wow!
Semoga, di tahun tersebut, kiranya kita diberikan umur panjang sekaligus nikmat kesehatan oleh Gusti Allah SWT.
Eh iya, semoga juga di tahun 2023 nanti, artikel ini dan blog Maw Mblusuk? masih tetap eksis.
Aamiin...
Dilema yang Berujung Pasrah
Buatku, memotret gerhana matahari adalah suatu pilihan yang cukup dilematis. Sebabnya, di otakku berulang kali terngiang-ngiang kata-kata berikut ini.
“Pilih mana, antara motret gerhana matahari atau menunaikan salat gerhana?”
“Apa bisa kedua-duanya dilakukan tanpa perlu mengorbankan yang lain?”
“Lebih penting mana, Tuhan atau dunia?”
“Urusan agama kok mau dikompromikan?”
“Imanmu lemah!”
“Tinggalkanlah perkara yang membuatmu ragu-ragu!”
“Niat kok setengah-setengah?”
Ya begitu deh...
Jadinya motret atau salat gerhana nih? #galau
Dalam hidup ini, kita disodori beragam pilihan beserta konsekuensinya masing-masing. Manusia senantiasa memburu pilihan yang dianggapnya terbaik. Tapi toh, di lapangan, semua itu kembali pada kehendak Tuhan. Ya kan?
Alhasil ya, perkara gerhana matahari ini aku pasrahkan saja kepada Allah SWT.
Ada momen motret ya motret.
Ketemu tempat salat ya salat.
Habis salat Subuh kebablasan tidur sampai siang ya lanjut. #eh
Pokoknya, di hari Rabu pagi (9/3/2016) yang bertepatan dengan tahun baru Saka 1938 itu, aku nggak punya ekspektasi ego yang berlebihan. Hidup itu kan jadi tenang bilamana diiringi laku sabar dan ikhlas. #sok.filosofis
Drama Seusai Subuh
Sementara aku berusaha mendamaikan antara keinginan, harapan, dan kenyataan, Bapak agaknya mulai jengkel. Sudah pukul setengah 6 pagi, tapi juru mudi kami yang bernama Bang Dedy belum juga menampakkan batang hidungnya. Ketiduran kah si abang ini?
Padahal, Jl. Gatot Subroto, yang letaknya persis di depan Hotel Meigah, sudah ramai oleh kendaraan bermotor yang berpacu menuju kawasan pantai. Pukul segini, jalur ke pantai pun mesti sudah padat merayap. Maklum, kabarnya fenomena gerhana matahari bakal tayang di langit sekitar pukul setengah 7 pagi.
Ah, sepertinya rencana Bapak dan Ibu yang ingin menyaksikan gerhana matahari total dari Pantai Tanjung Kelayang harus dikubur dalam-dalam. Pantai Tanjung Kelayang disebut-sebut sebagai salah satu lokasi pengamatan gerhana matahari total yang disiapkan oleh Pemerintah Kabupaten Belitung.
Pertolongan di kala subuh.
Di tengah kondisi kalut itu, nasib mujur agaknya berpihak pada kami. Ndilalah, kecemasan Bapak mengundang perhatian seorang juru mudi yang bersiaga di parkiran Hotel Meigah. Abang juru mudi tersebut (yang aku lupa tanya namanya siapa ) lantas menawari bantuan untuk mengantar kami ke Pantai Tanjung Kelayang.
“Berapa tarifnya?”, tanya Bapak
“Yah, seikhlasnya Bapak saja lah. Saya sekadar membantu supaya bapak sekeluarga tidak kesusahan.”, jawabnya diplomatis
Meskipun begitu, Abang juru mudi ini hanya berkenan mengantar saja. Sebab, si Abang sudah punya janji dengan tamu-tamunya pada pukul 8 pagi. Mengingat Pantai Tanjung Kelayang hanya berjarak sekitar 30 menit dari Kota Tanjung Pandan, kami pun menyambut tawarannya.
Ealah! Baru sekitar 2 km menyusuri jalan aspal, kondisi lalu lintas sudah macet-cet-cet! Sepertinya, warga dan pelancong berlomba-lomba menuju ke kawasan pantai sepagi mungkin. Hadeh...
Di tengah kemacetan ini, Abang juru mudi berbagi cerita. Pagi ini semestinya dia ditugaskan mengantar tamu-tamunya ke pantai. Tapi, subuh ini mendadak mereka mengurungkan niat dan berencana mengamati gerhana matahari dari atap Hotel Meigah saja.
Yah, selama pandangan tidak terhalang, yang namanya matahari kan bisa dilihat dari mana saja toh? Begitu pula dengan fenomena gerhana matahari.
Mendengar informasi tersebut, Bapak langsung bereaksi cepat. Ditelponnya front office Hotel Meigah. Memastikan apakah benar di atap hotel ada tempat untuk mengamati gerhana.
Setelah mendapat lampu hijau dari pihak hotel serta menimbang bahwasanya sangat tidak kondusif mencapai Pantai Tanjung Kelayang di tengah kondisi lalu lintas yang macet, akhirnya kami putuskan untuk berputar kembali ke Hotel Meigah. Gagal rencana A, pindah langsung ke rencana B.
Bapak yang akhir-akhir ini jadi hobi motret.
Di saat-saat seperti ini, Bapak tak ubahnya seorang komandan yang senantiasa hadir dengan berbagai siasat dan rencana. Tak pernah ada kata “nggak tahu” terlontar sebagai jawaban. Ibarat ada orang yang terjatuh dari langit, orang tersebut nggak akan pernah langsung menghujam tanah. Selalu ada jaring-jaring pengaman yang kiranya kelak menyelamatkan nyawanya.
Suatu sifat yang aku kagumi dari seorang Bapak...
Ups... aku ngelaturnya kepanjangan...
Saatnya kita kembali lagi ke alur cerita.
Antusiasme di Kala Senja
Pukul 6 kurang 20 menit, mobil yang kami tumpangi merapat kembali di parkiran Hotel Meigah.
“Ini, terima kasih ya!”, ujar Bapak sambil menyelipkan sesuatu ke dalam genggaman abang supir
“Lho? Apa ini Pak? Nggak usah!”
“Ah, sudah! Hitung-hitung sebagai tanda persahabatan teman baru di Belitung.”
“Wah, makasih sekali Pak!”
Bang Dedy (yang akhirnya datang juga ) terlihat di parkiran dengan raut wajah cemas. Ah, biarlah Bang Dedy menjadi urusannya Bapak. Kalau Bapak sedang jengkel, aku mending menyingkir dari TKP deh, hahaha.
Aku dan Ibu bergegas naik tangga menuju atap hotel. Insting awamku mengatakan, bila terus-menerus naik tangga ini ujung mentoknya adalah atap hotel. Untung Hotel Meigah hanya terdiri dari 3 lantai. Lha ya capek toh kalau naik tangganya tinggi-tinggi?
Lantai 3 Hotel Meigah ini rupanya terhubung dengan balkon luas. Aku celingak-celinguk. Apa benar di sini tempat ideal untuk mengamati gerhana matahari dari Hotel Meigah? Di mana rombongan tamu yang katanya mau nonton gerhana matahari itu? Kok yang kelihatan hanya cucian garing yang berkibar-kibar? Weleh...
Balkon yang multifungsi jadi tempat jemuran.
Sayup-sayup aku mendengar riuh percakapan manusia dari atas. Oh, ternyata di atas balkon luas ini masih ada lantai lagi. Eh, bukan lantai sih. Lebih tepatnya dek, cor-coran beton, yang disebut-sebut sebagai atap hotel. Rupanya di sana tamu-tamu yang lain mengambil posisi.
Akses menuju tempat ini adalah melalui tangga besi vertikal setinggi kurang-lebih 5 meter. Karena menurutku aksesnya kurang bersahabat, aku bilang ke Ibu,
“Ibu nonton gerhananya dari sini (balkon) saja. Naik tangganya susah.”
“Bisa. Bisa. Kalau pelan-pelan naiknya bisa.”
Waduh! Ini semangat Ibu (sekaligus Bapak) buat menyaksikan gerhana matahari sepertinya meluap-luap. Padahal, Ibu baru saja sembuh dari kecelakaan beberapa bulan silam. Salat pun seringnya mesti dalam posisi duduk karena nyeri bila berdiri terlalu lama.
Anak muda naik ini sih yes. Tapi kalau lansia... duh...
Kalau boleh jujur, kondisi fisik kedua orang tuaku yang sudah menginjak usia kepala 6 ini memang tidak lagi bisa disebut prima. Itu pun selaras dengan ucapan Ibu.
“Dulu, kalau mau jalan-jalan, waktunya yang nggak ada. Sekarang, waktunya ada, uangnya ada, tapi sehatnya itu yang jadi kendala. Semoga ya Allah masih ngasih kesehatan buat bisa jalan-jalan lagi Le.”
Begitulah...
Setia menunggu di atap hotel.
Para Pemburu Gerhana di Atap Hotel
Oke. Cukup selingannya. Yuk, kita balik lagi ke suasana di atas atap Hotel Meigah.
Ah, rupanya di sini tempat kumpulnya tamu-tamu yang diceritakan abang juru mudi tadi. Aku perhatikan, ada belasan turis asing berkulit putih dan bermata sipit yang tengah memadati atap hotel. Dari curi-curi dengar obrolan mereka, rasa-rasanya mereka ini warga China. Entah China daratan atau Taiwan.
Wuih, pagi-pagi udah rame. Orang China memang sregep bangun pagi.
Buat Pembaca yang penasaran, yang disensor itu warnanya pink pucat.
Yang mencolok, mereka sudah siap siaga dengan berbagai peralatan yang canggih-canggih. Tripod iya. Laptop siap. Handycam ada. DSLR jelas. Lensa-lensa dipasangi filter ND (Neutral Density). Malah ada yang niat memakai telescope mount segala. Ckckck.
Pokoknya, mereka-mereka ini sudah ready go. Tinggal duduk manis menunggu fenomena gerhana matahari muncul di langit timur. Kalau katanya Om pemilik Hotel Meigah sih, mereka ini dari klub astronomi gitu. Pantas saja peralatan tempurnya total banget.
Tripod handycam ini dilengkapi alat khusus yang otomatis bisa menyesuaikan posisi ke arah matahari.
Berhubung atap Hotel Meigah ini cukup luas, jadinya aku nggak perlu berdesak-desakan dengan mereka yang sudah nge-tag posisi pewe-nya masing-masing. Aku sendiri mengambil tempat di dekat tangki tandon air. Lumayan ngeri juga sih karena posisinya persis di ujung tembok. Tapi, kok ya pemandangan dari sudut ini lumayan menarik ya?
Semoga para wanita yang mencuci baju dengan cara manual pakai tangan tetap dilimpahkan kesehatan. Aamiin.
Selang beberapa saat, mendadak di sampingku berkumpul sejumlah wanita. Satu dari mereka melempar senyum ke arahku. Hooo, rupa-rupanya mereka juga berniat mengamati gerhana matahari dekat tangki tandon air. Persis di sebelahku.
Eh iya. Secuil senyum yang sempat aku pungut tadi itu aku terjemahkan sebagai salam perkenalan.
Nah, sebagai bangsa yang katanya ramah, tentu kurang sopan bilamana aku nggak membalas sapa kepada sang wanita. Kalimat demi kalimat dalam bahasa Inggris pun meluncur dari mulut. Itu sebabnya, mereka bertiga berasal dari golongan ras kaukasoid. Lawan bicaraku (sekaligus yang tadi senyum itu) adalah seorang ibu paruh baya.
Coba yang senyum yang merah. #eh
Oh iya, mereka bertiga ini lintas generasi lho! Nenek - anak - cucu. Lha, suami-suaminya ke mana ya?
Kepo punya kepo, mereka bertiga ini dari Jerman. Lebih tepatnya dari Kota Hamburg. Ah, entah kenapa kalau menyebut Jerman, kok aku jadi teringat sama nama keempat di kartu keluarga alias Tiwul yang kini terpisah puluhan ribu kilometer dari ibu pertiwi. Meski dirinya nggak bermukim di Jerman, tentu ia sudah mahir cap-cis-cus dalam bahasa Jerman.
Kapan ya bisa jalan-jalan berempat lagi... #mendadak.mellow
Haisy! Cukup mellow-mellow-nya!
Suasana Menjelang Tayang
Detik-detik menjelang terjadinya gerhana kian dekat. Jarum jam pelan-pelan bergeser ke pukul setengah 7 pagi.
Di atap Hotel Meigah, suasana mulai bertambah ramai. Pegawai hotel, juru mudi, dan para tamu terlihat antusias. Kacamata gerhana pun mulai dikenakan. Bapak malah sudah menyiapkan sejumlah kacamata gerhana jauh-jauh hari. Beli di online shop katanya, hohoho.
Makin siang jadinya makin ramai (dan makin panas ).
Di sisi lain, Jl. Gatot Subroto terlihat mulai lenggang. Arus lalu lintas tidak lagi sepadat saat subuh. Dari berbagai penjuru, terdengar arahan yang dikumandangkan via speaker. Masjid-masjid mulai bersiap menggelar salat khusuf (gerhana) berjamaah.
Kok mendadak jadi seperti kota mati gini?
Sebenarnya, aku ya kepingin ikut salat gerhana di masjid. Sayang sekali di dekat Hotel Meigah nggak ada masjid. Asal Pembaca tahu, mayoritas warga Belitung itu memang muslim, tapi jumlah masjidnya nggak sebanyak di Jawa. Maklum, namanya juga pulau berpenduduk sedikit.
Nonton gerhana dulu deh sebelum salat.
Ya sudahlah. Aku duduk anteng saja di dekat wanita-wanita Jerman. Sambil sesekali memantau lini masa dan mempersiapkan peralatan untuk memotret gerhana matahari.
Persiapan Memotret Gerhana Matahari
Nah, ngomongin perkara memotret gerhana matahari. Aku perhatikan banyak blog yang mengulas teknik-teknik memotret gerhana. Sayangnya, kurang komprehensif, hahaha.
Berhubung aku hanya punya peralatan foto lawas yang seadanya. Ditambah ilmu fotografi yang masih cetek. Jadi ya, mohon maaf bilamana hasil foto gerhana matahari yang aku jepret terkesan “ala kadarnya”.
Soal peralatan, aku masih setia memakai DSLR Nikon D80 yang tahun 2016 ini usianya sudah 9 tahun! Sedangkan lensanya, aku pakai lensa Nikkor AF-S DX 55-200 VR II yang aku beli bekas tahun 2012 silam (tapi kualitas fotonya dipertanyakan ).
Untuk filter Neutral Density aku pakai Hoya Variable Density 3-400 yang Alhamdulillah sejak tahun 2014 sampai sekarang belum pecah (kebaret sedikit sih sudah ). Di zaman pas dolar lagi mahal-mahalnya begini, kalau mau motret jadi lebih hati-hati.
Aku sebetulnya juga bawa tripod, tapi aku pasrahkan ke Bapak. Biar Bapak saja yang motret pakai tripod. Jadinya, aku motret gerhana matahari tanpa tripod deh. Padahal kanan-kiri orang-orang motret pakai tripod semua, hahaha.
Oh iya, satu lagi, untuk motret suasana di sekitarku, aku mengandalkan kamera saku Nikon Coolpix S3500. Ini kamera saku sebenernya sudah pernah "mati suri". Ya, kapan-kapan lah aku ceritakan kejadiannya.
Contoh kamera digital yang disiapkan untuk memotret gerhana matahari.
Filter ND-nya nggak nguati . Tapi yo ben! Yang penting fungsinya.
Sebagai persiapan memotret gerhana, pertama-tama aku setting dulu lensa dan filter Variable Density. Lensa AF-S DX 55-200 VR aku atur ke panjang fokal tertinggi, yaitu 200 mm. Sedangkan filter Variable Density aku atur ke tingkat kepekatan paling gelap. Tapi, pas aku terawang ke arah matahari kok ya kurang gelap ya? Alhasil, filter Variable Density aku tumpuk pakai satu filter CPL. Lumayan jadi gelap lah.
Setelah itu ganti ke pengaturan kamera. Aku pakai mode Aperture Priority (kebiasaan pas motret landscape ). Kemudian aku atur bukaan diafragma ke f/11 dan ISO 400. Tapi, setelah tes njepret sana-sini, kok rasanya pilihan kecepatan rananya agak meleset ya? Jadilah aku pindah ke mode Manual dan mematok kecepatan rana ke 1/400 detik. Hasil fotonya seperti di bawah ini.
Waduh... kok berawan?
Langitnya mendung ya?
Tapi, untung di Belitung nggak ada pabrik pupuk.
Ya itu dia. Seperti yang aku singgung di awal artikel ini. Aku pasrahkan saja semuanya ke Allah SWT. Sudah bersiap motret, tapi langitnya mendung itu kan kuasa Allah SWT toh? Walaupun ya di sudut langit yang lain bersih dari awan dan hawa Kota Tanjung Pandan mulai bikin gerah. Duh...
Saat Matahari Mulai Terhalang Bulan
Sekitar Pukul Setengah 7 Lebih Sedikit
Orang-orang di belakangku teriak-teriak.
“Gerhananya kelihatan!”
Sepintas sih matahari masih sama seperti hari-hari biasa. Nggak ada bedanya gerhana atau nggak. Hanya saja, pas dipotret, kelihatan penampakan yang seperti foto di bawah ini.
Eh, apa itu hitam-hitam yang di sudut? Mulutnya Batara Kala ya?
Subhanallah! Bulannya datang dari sudut kanan atas!
Alhamdulillah, awan-awan kok mendadak menyingkir ya?
Sekitar Pukul 7 Lewat Sedikit
Kondisi matahari semakin “memprihatinkan”.
Seperti pas malam hari saat melihat bulan sabit. Tapi ini matahari.
Saat matahari berbentuk sabit ini (keren sekali namanya, crescent sun ), kondisinya masih sama seperti hari-hari biasa. Pencahayaan nggak redup. Nggak gelap. Nggak temaram. Hanya saja yang aku perhatikan, suasana Kota Tanjung Pandan entah kenapa mendadak senyap. Speaker-speaker masjid mulai hening (pada salat mungkin ya?). Kemudian, mulai terasa banyak angin lewat (bukan angin yang bikin bulu kuduk merinding lho! ).
Pukul 7 Lebih 20 Menit
Matahari seakan-akan hanya tinggal punya satu tarikan napas.
Sedikit lagi...
Kondisi pencahayaan mulai temaram. Perasaanku, seperti berada di dalam kamar dengan nyala lampu fluorescent yang sebentar lagi koit. Meski begitu, kalau dipotret atau dilihat dengan mata telanjang, matahari masih bersinar terik. Hanya saja ya itu, mulai redup.
Pukul 7 Lebih 21 Menit.
Matahari tinggal segaris tipis. Ibarat mencabut rambut, tinggal ujungnya ditarik sedikit, tesss, hilang!
Setelah ini mataharinya hilang beneran?
Pukul 7 Lebih 22 Menit
Aku melakukan kesalahan fatal, hahaha.
Aku sempat-sempatnya memain-mainkan zoom lensa! Nggak sengaja panjang fokal lensanya ke-set ke panjang 55 mm. Alhasil, fotonya nggak maksimal! Huuu... sedih.
Subhanallah! Cewek dilamar pakai cincin seperti ini pasti seneng. #eh
Padahal momennya bagus banget. Pas efek Baily’s bead yang terkenal dengan istilah cincin permata (diamond ring).
Pukul 7 Lebih 23 Menit
Pet! The end. Habis. Selesai.
Matahari hilang! Bener-bener hilang di foto sampai nggak kelihatan!
Tamat! Eh, yang warna merah di sudut kiri itu disebutnya Solar Prominence.
Pandanganku nggak lepas dari viewfinder. Sementara di dalam hati aku berkali-kali nyebut nama Allah SWT.
“Ya Allah! Ya Allah! Ya Allah! Astaghfirullah! Ya Allah!”
Serius! ... Tegang! ... Banget!
Selang beberapa detik kemudian, muncullah apa yang disebut filamen korona, yang warnanya putih itu lho.
What the... camera shake! Doooh!
Nah! Pas ini aku melakukan kesalahan fatal lagi, hahaha.
Aku sadar. Pas pencahayaan sudah gelap begini, ngapain juga motret matahari pakai filter Variable Density? Jadinya, aku ubah pengaturan kamera jadi mode Aperture Priority, bukaan diagfragma f/11, dan ISO 100. Dapet itu kecepatan rana 1/2 detik.
Karena pas itu aku takut (serius, ini aku takut beneran!). Tanganku ndredeg (gemetaran). Alhasil camera shake deh. Eh, kok ya pas itu nggak kepikiran mengaktifkan fitur peredam getar (VR) di lensa ya? Hahaha . Aku terbiasa motret nggak pakai VR sih . Maklum, lensa lawas mana ada fitur VR-nya.
Pas hasil fotonya muncul di LCD dan terlihat getar, aku panik dong! Langsung deh eksperimen nyari setting kamera yang pas buat mengabadikan momen gerhana total ini. Utak-atik utak-atik. Akhirnya, ketemu juga deh setting yang pas di bukaan diafragma f/6.3, kecepatan rana 1/60 detik, dan ISO 800 di mode Manual!
Langsung jepret! cekrek! cekrek! cekrek!
Cahaya filamen korona ini yang bikin suasana nggak gelap-gelap banget.
Untung kamera sudah aku set ke mode burst, bukan single shot. Biar aman, titik fokus aku kunci sekaligus ku-off kan tombol autofokus di body lensa. Ngapain juga nyari perkara gelap-gelap masih nyari fokus kalau sudah ketemu titik fokusnya?
Tapi, ya aku masih sempat-sempatnya eksperimen mencari setting yang pas supaya bisa motret enak tanpa resiko camera shake. Pernah nekat nyoba di setting bukaan diafragma f/8, kecepatan rana 1/50 detik, dan ISO 500. Ujung-ujungnya ya masih camera shake juga. Doh!
Sama seperti foto di atas. Bedanya hanya di setting kamera .
Sementara itu suasana di belakangku ramai! Orang-orang pada teriak-teriak.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Sedangkan di dalam hati aku masih nyebut.
“Ya Allah! Ya Allah! Ya Allah! Astaghfirullah! Ya Allah!”
Orang-orang di belakang itu teriak-teriak kayak happy to the max. Sedangkan aku masih ketakutan, tapi berusaha untuk tidak ndredeg sambil motret dan nyebut nama Allah berulang kali. Pokoknya, di saat-saat seperti ini ingat sama Allah SWT dan menyebut nama-Nya menurutku sudah baik lah.
Suasana aku perhatikan mulai berubah drastis. Suhu yang semula panasnya bukan main, jadi terasa dingin. Angin kencang berhembus. Burung-burung gereja yang tadi berkicau jadi diam dan menghilang.
Adapun pemandangan langit persis sama seperti pas sore Magrib. Kelihatan ada semburat jingga khas nuansa senja. Pokoknya, nggak betul-betul gelap total.
Oh iya, di dekat posisi matahari muncul satu bintang. Eh, katanya sih bukan bintang, tapi planet. Tapi aku nggak sempat motret. Lha wong cahayanya redup!
Pas momen ini aku nggak “tertib”. Aku sempat berhenti motret dan keliling muter-muter di sekitar atap hotel sambil mengamati reaksi orang-orang dan pemandangan Kota Tanjung Pandan. Sayang, waktu itu aku nggak sempat motret suasana sekitar. Ngatur ulang setting Nikon Coolpix S3500 kelamaan!
Pukul 7 Lebih 26 Menit
Aku balik, ambil posisi buat motret matahari lagi. Eh, tahu-tahu penampakannya seperti di bawah ini.
Matahari muncul lagi!!!
Alhamdulillah! Matahari muncul lagi.
Tapi ya nggak dapet foto cincin permata yang kedua.
Habis itu ya berhenti motret deh, hahaha.
Kondisi di sekitar berangsur-angsur mulai normal. Cahaya matahari mulai terang. Suhu udara jadi memanas. Angin berhenti berhembus. Burung-burung kembali berkicau. Persis seperti ending di film-film setelah kota diporak-porandakan, kembali bangkit seperti biasa.
Pukul 7 Lebih Banyak Menit
Pas matahari masih berbentuk bulan sabit, aku cepat-cepat merapikan peralatan motret. Bergegas turun ke kamar hotel buat menunaikan salat gerhana (mumpung masih gerhana sebagian ). Eh, ternyata si Ibu sudah sampai di bawah aja! Jagoan sekali wanita satu ini.
Belajar dari Pengalaman Memotret Gerhana Matahari
Nah, dari pengalamanku di atas, Pembaca bisa sekiranya memperhatikan hal-hal di bawah ini saat hendak memotret gerhana matahari.
- Silakan memotret gerhana memakai DSLR. Disarankan memakai DSLR dengan resolusi tinggi (di atas 20 megapiksel). Pakai Mirrorless juga boleh. Asal sensor kameranya ada crop factor, supaya fungsi lensa telefoto lebih maksimal.
- Pakai lensa telefoto dengan panjang fokal 200 mm ke atas.
- Siap sedia dengan filter Neutral Density. Kalau bisa jangan dipasang, tapi cukup ditempelkan ke muka lensa supaya pas melepasnya (saat momen gerhana matahari total) bisa secepat kilat.
- Latihan memotret matahari supaya tahu pengaturan kamera yang pas.
- Tripod hanya berfungsi saat momen gerhana matahari total untuk menghindari camera shake. Sebetulnya, memakai tripod juga beresiko. Sebabnya, di langit, matahari kan bergerak naik. Jadi, tripod harus disesuaikan dengan posisi matahari tiap menitnya.
- Kalau mau hasil maksimal, pakai lensa teleskop yang umum digunakan di bidang astrophotography.
- Fokus motret! Jangan iseng melakukan hal-hal "aneh", hahaha.
Ini orang niat banget! Selain foto-fotonya langsung masuk laptop, hasil pengamatan gerhana juga ditulis tangan. Salut!
Jadi begitulah ceritaku memotret gerhana matahari total dari Pulau Belitung di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Nah, habis motret gerhana ngapain? Pulang? Ya, nggak dong! Jauh-jauh sudah sampai Belitung kok main pulang saja sih?
Pembaca di tanggal 9 Maret 2016 menyaksikan gerhana matahari juga kah?
NIMBRUNG DI SINI
Itu bagian tubuh yang nggak semestinya dinikmati, hahaha. :D
Fotomu apik apik sumpah! Ndik kene warga jamaah sholat bareng ndik musholla. Sebagian jik kenek mitos sing mengatakan gerhana matahari itu berbahaya. Haduuuuh.
Wah, kreatif kuwi nggo adah helm. :D
Keren pengalamannya motret gerhana matahari total kemarin...
Alhamdulillah saya masih bisa melaksanakan solat gerhananya :)
Perlengkapan eprangnya manteb tenan rek :D
Hasil fotonya juga mumpuni.. selamat ya bisa dapat hasil foto yang apik!
Itu hasil fotomu kalau menurutku yang lebih gaptek ini sih udah bagus banget :)..
Kalo aku yang motret lebih ndredeg lagi tanganku p..
Aku gag liat gerhana sama sekali.
Memilih sholat di masjid. Keren ya Mas keluarga jenengan masih sering jalan-jalan. Kok ya jadi pengen ngajak dolan bapak ya?
Orangtua memang hobinya jalan-jalan. :)
Kemarin enak bubug sih di kamar kos, heheheee.
Gak nyangka atap hotel jadi spot menarik ya ... bisa dapat foto gerhana .. sama bonus-bonus menarik lainnya .. ihiyyyy :D
Besar banget kuasa Allah :))))
Oh iya, salam kenal ya, Aa. Baru pertama kali nyasar ke sini. :D
ya :)
Belitung macet parah ya memang katanya, teman-temanku disana juga pada siaga 1 pas acara GMT kemarin.
Luar biasa memang, masyaAllah :)
Pas gerhana malah lagi di kereta.. dapat tugas ke Klaten....
arghhhh....
Aku kemaren cuma ngamati cahayanya aja yang meredup, sama nyetel tv.. memang suasananya medeni Mas.. :D
Iya emang suasananya jadi medeni. Pantas saja orang-orang zaman dahulu takutnya setengah mati pas gerhana.
Iya ew Mas, kemarin aku malah bar debat dengan temanku, katanya gerhana kok dilihat. Daripada melihat gerhana lebih baik shalat gerhana.... Ada benarnya juga sieh, tapi ya memang hidup itu kan pilihan ya Mas....
Ew disini Mas Wijna malah membahas tentang ini, duh jadi keinget debat kemarin....
Orang Cina memang sregep-sregep ya Mas buat bangun pagi. Lha kalau orang Indonesia? hahaha.
Merinding Wijna...terimakasih fotonya...:)
Fenomena alam yang indah....
Terima kasih Mas gambarnya.