Aku mau cerita tentang pengalamanku motret Festival Perahu Naga di Bendungan Tegal, Bantul kemarin Minggu (5/6/2011). Sebenarnya, aku sudah lama pingin motret acara ini, tapi baru kesampaian sekarang . Sebab aku jarang motret perahu. Paling-paling ya hanya perahu nelayan kalau sedang main ke pantai.
Untungnya, promosi tentang acara ini sudah digaungkan jauh-jauh hari. Aku tahu ada acara ini dari poster yang disebarkan lewat wall Facebook Jogjaku dan Yogyakarta.
Tentang Bendungan Tegal
Buatku, Bendungan Tegal sendiri bukan lokasi yang asing. Sudah berkali-kali aku bersepeda ke sana. Jadi, soal rute sudah hapal di luar kepala. Uniknya, Bendungan Tegal ini dibagi jadi dua sisi yaitu sisi barat dan sisi timur. Festival Perahu Naga ini diadakan di sisi barat, yaitu di Desa Canden di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.
Cukup mengikuti Jl. Parangtritis hingga km 13, dan berbelok ke arah timur di pertigaan SMK Negeri 1 Jetis untuk sampai ke lokasi. Kalau dengan bersepeda, butuh waktu 50 menit dari Kota Jogja.
Tentang Festival Perahu Naga
Festival Perahu Naga nggak lepas dari budaya bangsa Tionghoa. Festival ini dirayakan pada hari ke lima di bulan ke lima penanggalan Cina. Festival ini dikenal dengan nama Peh Cun yang berarti “mendayung”. Sejarah awal-mula perahu naga ini tertuang dalam kisah yang cukup tragis, yaitu kisah Qu Yuan dan Cao-E. Saat ini, perahu naga termasuk cabang olahraga air yang kerap dipertandingkan di kancah internasional.
Eh iya, pada ASIAN GAMES XVI 2010 di Guangzhou, tim putra perahu naga Indonesia menyabet semua medali emas dari nomor-nomor yang dipertandingkan lho! Ayo semangat tim perahu naga Indonesia!
Tentang Motret Perahu Naga
Ayo-ayo Pembaca lihat dulu foto-foto di bawah ini.
Ya itu dia lomba perahu naga. Dalam tiap sesi ada tiga tim yang berlomba memacu perahu naga mereka dari titik start hingga titik finish yang jaraknya sekitar 250 meter. Perahu naganya disediakan Pemda Bantul, cuma tersedia tiga perahu, untungnya nggak ada yang bocor sewaktu lomba. >.<
Dari foto di atas, sudah kebayang kan bagaimana kondisi pemotretan hari Minggu itu? Cuacanya cerah, panaaas, tapi langitnya PUTIH! Dan juga, perahunya kan ada di air, jadi motretnya mesti dari jauuuh toh? Jadi, solusi yang ada di pikiranku saat itu adalah:
- Sebisa mungkin jangan motret langit! Kalau pun terpaksa porsi langitnya sedikit aja. Pokoknya jangan sampai foto penuh dengan warna putih. Kecuali kalau tiba-tiba muncul ide kreatif untuk bisa memanfaatkan langit putih itu, hehehe .
- Jangan nyebur ke air! (halah!) Maklum, aku suka nekat nyemplung ke air . Jadi, pilihan terbaikku adalah menggunakan lensa 18-135 mm dan pasti bakal bermain di rentang panjang fokal 70-135 mm. Doh! Ini kelemahanku! Aku nggak ahli bermain di rentang segitu.
Tentang Foto yang Ora Nyokot
Foto di atas itu adalah satu foto yang kalau istilahku: ora nyokot alias nggak nggigit (emangnya anjing bisa gigit? ). Terkesan flat, nggak berdimensi, nggak ada unsur dramanya, dan mungkin foto seperti ini yang paling banyak tertangkap mereka yang ingin mengabadikan perahu naga. Nggak salah sih, tapi ya…menurutku…kurang…gimanaaa gitu.
Kalau tentang foto perahu yang menurutku nggigit, itu fotonya fotografer kaliber Joe McNally yang termuat di brosur Nikon tahun 2006 silam. Cuplikan halamannya aku tampilkan di bawah ini.
Keren toh?
Tapi apa daya, berhubung aku cuma seorang Wijna yang masih anak ayam di dunia fotografi, yang kemampuannya jauuuh di bawah Joe McNally dan jajaran fotografer kaliber lainnya, jadi aku cuma bisa melakukan serangkaian usaha di bawah ini untuk membuat fotoku setidaknya sedikit nyokot (ya geli-geli sedikit lah, hehehe ).
1. Motret Panitia
Sayangnya nggak ketemu panitia cewek yang lumayan…eh!? Hahaha, daripada bengong menunggu lomba dimulai, ya memotret panitia dulu saja. Sebab, mereka ini kebanyakan sudah siaga dari awal untuk menyiapkan lomba. Momen seperti ini hanya bisa diperoleh di pagi hari, di awal kegiatan, sebelum panitia sibuk 101% dengan tugas mereka. Selamat menunaikan tugas!
Tim penyelamat sedang berjaga-jaga untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, dari peserta maupun pengunjung. Siapa tahu ada anak yang mencoba nyemplung ke air dan tenggelam? Eh iya, seandainya di foreground ada lebih banyak bunga liar, mungkin lebih bagus.
Inilah tim juri yang bercengkrama sebelum lomba dimulai. Yang bikin aku tertarik sebenarnya adalah pemandangannya. Sepertinya enak gitu, duduk di bangku memandang Kali Opak di sore hari sambil ditemani kekasih tercinta (halah!). Yang jelas menurutku ini sudut bagus untuk foto pre-wedding, hmmm…
2. Motret Warga
Jangan lupakan warga juga dong! Mereka kan penduduk setempat yang merawat tempat ini sehari-harinya. Dengan adanya acara semacam ini, warga juga turut terkena dampaknya. Yah, mungkin saja mereka merasa “terganggu” oleh para pendatang yang singgah di pemukiman mereka. Tapi mungkin juga mereka merasa terhibur. Setidaknya acara ini mampu mempromosikan desa mereka sebagai obyek wisata, yang imbasnya adalah peningkatan geliat ekonomi (semoga…).
Ini yang aku maksud dengan “menggerakkan perekonomian rakyat kecil”. Peluang usaha terbuka luas di setiap ada kerumunan massa. Yah, walau yang mereka jajakan hanya sebatas panganan ringan, namun itu cukup membantuk pengunjung yang butuh “tambahan bensin”. Seperti aku, es dawet seharga Rp1.000 itu seperti nektar di tengah sengatan matahari yang teriknya bukan main.
Ah, aku jadi ingat dulu sewaktu kecil pernah diajak Bapak melihat kereta api. Bagi anak-anak, berada dekat dengan benda-benda unik (apalagi besar) adalah sesuatu yang menyenangkan. Maka dari itu, tidak jarang orang tua memanfaatkannya untuk momong anak mereka. Eh iya, ada mesin backhoe disana itu untuk mengeruk dasar Kali Opak yang mendangkal karena banjir lahar dingin Merapi.
Bagaimana ekspresi mereka? Mungkin melihat sesuatu yang jarang atau bahkan tak pernah mereka saksikan akan menimbulkan ekspresi seperti di atas ini . Berhenti beraktivitas barang sejenak untuk menyaksikan sesuatu yang mengundang riuh sorak. Setelah selesai, ya kembali beraktivitas lagi dong!
3. Motret Peserta
Eng ing eng…inilah para pendayung kita . Kadang mengabadikan aktivitas mereka saat mereka tidak sedang mendayung menarik juga lho. Seperti ini saat mereka sedang melakukan pemanasan. Dengan memotret seperti ini kita jadi tahu wujud para pendayung. Ternyata, mereka tidak mendayung memakai busana Tionghoa! (halah!)
Satu yang aku keluhkan dari tim pendayung adalah lunturnya semangat mereka tatkala sudah dekat titik finish dan berada di urutan buncit. Seakan pasrah dan berkata, “Yo wis lah…”. Aduh, jangan menyerah dong! >.<
4. Motret di Titik Start
Menurutku memotret di titik start paling nyaman dibandingkan di titik finish. Karena lebih lapang dan jarang ada yang motret di sana. Awalnya hanya berdua, aku dan Pak Yongki yang baru saja berkenalan. Tapi lantas jadi banyak yang memotret di titik start, salah satunya Anno yang sedang galau memilih lensa .
Momen yang kutunggu adalah saat bendera start dikibarkan. Jadi, foto seakan bercerita, “lomba dimulai”. Aku memotret dua kali, pada panjang fokal lebar dan panjang. Perhatikan bahwa kesannya akan berbeda jika diambil pada panjang fokal berbeda dengan momen yang sama.
5. Motret Detil
Aku lebih tertarik dengan gendang yang ada di setiap perahu naga. Ingin rasanya aku duduk di sana, menabuh gendang, seraya berteriak “Luwih banter Le!” (halah!). Aku nggak begitu memperhatikan irama gendang yang ditabuh. Tapi aku yakin irama akan mempengaruhi semangat mendayung. Apa ya mungkin irama gendang bakal mengalihkan perhatian pendayung tim lain ya? Hmmm..
Aku memotret dengan panjang fokal lebar untuk menangkap posisi gendang di kapal yang butuh ruang luas. Sementara aku memotret dengan panjang fokal terpanjang untuk menangkap “emosi” penabuh gendang menyemangati para pendayung.
Jadi, sekiranya itulah pengalamanku motret Festival Perahu Naga di Bendungan Tegal. Baru sadar kalau ternyata panjang sekali tulisannya, hehehe. Maklum, akhir-akhir ini jarang punya waktu untuk menulis.
Kalau Pembaca apa memotret perahu naga juga? Atau menghadiri acara Peh Cun lainnya?
NIMBRUNG DI SINI
ini hehe...
Sayang sekali.....
Adanya hanya menangkap bebek adus kali sama kepala sapi yg dilarung ke Brantas, itupun ga tahu jadwalnya,
Tahu2 udah kelar
Wkkk..............
bangetkan dia.
Itu yang saya rasa waktu ngejepret Danau Toba Desember lalu, kebetulan langit sedang jelek, putih, tapi ya dipajang aja fotonya :p (ga ngerti sih)
Gendang itu sekaligus buat menyamakan irama dayung mungkin ya?
Iya mbak, saya rasa juga supaya para pendayung mendayung dengan seirama.
poster-poster yang disebar di jalanan. Tapi sayang, waktu
pelaksanaannya bersamaan dengan jadwal keberangkatanku ke Bengkulu.
So, dari foto-fotomu yang katamu ora nyokot ini, bagiku sudah mewakili
kepenasaranku akan acara tersebut... :)
Mantap